Terorisme Islam: Topik yang Tabu

Kekerasan politis dalam Quran bersifat kekal dan universal. Sebaliknya kekerasan politis dalam Alkitab hanya berlaku pada konteks waktu dan tempat tertentu dalam sejarah. Inilah perbedaan mendasar antara Islam dengan Kristen maupun Yahudi. Kekerasan Islami akan selalu menjadi ancaman bagi seluruh budaya non-Islam, saat ini dan di masa depan.

 

Oleh: Uzay Bulut

Minggu 8 Februari 2015

Kekerasan politis Quran bersifat kekal dan universal. Kekerasan politis Alkitab berlaku pada waktu dan tempat tertentu dalam sejarah. Inilah perbedaan mendasar antara Islam dan ideologi-ideologi lainnya.  - Bill Warner, Director, Center for the Study of Political Islam.

Kata-kata telah diubah kedalam suatu tempat dimana kebebasan berbicara dipandang sebagai kata-kata kebencian, sementara ada orang-orang yang memegang tanggungjawab, dan menjalankan tanggungjawab mereka dengan sangat serius seperti yang dilakukan anggota Parlemen Belanda Geert Wilders, dicemoohkan, dimarjinalisasikan bahkan diseret ke pengadilan.

Jadi, pada tingkatan tertentu kita semua mengalami sakit mental, namun tak semua penyakit mental dapat diterima secara sosial dan tak setiap orang yang mengalami sakit mental menyalurkan penyakit mental mereka melalui sebuah prisma agama yang memuliakan pembunuhan.

Setiap kali terorisme Islam didiskusikan, mereka yang mengemukakan “terorisme Kristen” seperti yang dilakukan oleh Ku Klux Klan atau kekerasan yang dilakukan oleh kelompok anti aborsi, secara simpel telah menghalangi kebebasan berbicara, dimana mereka dengan sengaja mencoba untuk mengacaukan topik utama. Tampaknya mereka sedang mengatakan,”Apakah ISIS itu Islam atau tidak bukan hal yang relevan; sebab ada juga teroris Kristen, karena itu jangan berbicara mengenai teroris Islam.”

Ketika kekerasan dan dominasi dalam sebuah agama berakar sangat dalam – dan diganjar dengan janji akan mendapatkan upah – kaum fundamentalis akan senantiasa menemukan orang-orang yang diberi semangat dan orang-orang untuk dianiaya. Itulah sebabnya mengapa teologi Islam, ideologi dan gol-gol sangat perlu untuk didiskusikan. Sebab semuanya itu secara dalam mempengaruhi pilihan hidup yang dibuat oleh orang-orang Muslim.

Shhhh! Hari ini kita boleh membicarakan semua agama kecuali satu. Kita boleh mempertanyakan semua agama kecuali satu. Kita tahu bahwa setiap pertanyaan mengenai Islam dapat dianggap sebagai kritik, dan akan menempatkan hidup kita dalam bahaya, seperti yang baru-baru ini kita saksikan terjadi di Paris dengan terbunuhnya staf majalah Charlie Hebdoe. Inilah satu-satunya agama yang oleh orang banyak – termasuk pada apologet untuk “islamophobia” – harus berpikir sepuluh kali sebelum mendiskusikannya. Pada saat yang sama, ini adalah agama yang sama yang terus-menerus diasosiasikan dengan “damai”.

Mengapa orang harus takut dengan sebuah “agama damai”? Karena ada sejumlah dari para pendukungnya yang mengancam akan membunuh anda, dan seringkali mereka benar-benar melakukannya.

Apakah pernah ada orang yang mengkritik Islam dan tidak menerima ancaman, atau dapat hidup dengan bebas tanpa takut akan keselamatannya? Saat ini kita hidup dalam sebuah dunia dimana, jika ada pengkritik Islam tetap hidup, atau berada diluar jangkauan pengadilan, maka hal itu akan dianggap sebagai sebuah mujizat – baik dalam dunia Muslim maupun dalam dunia Barat.

Saat ini kita hidup dalam sebuah dunia dimana, di Inggris, geng-geng Muslim pemerkosa dan pengadilan-pengadilan Syariah dapat beroperasi dengan bebas, sementara para pembela kebebasan seperti Geert Wilders, Robert Spencer, Susanne Winter, Lars Hedegaard atau Elisabeth Sabaditsch-Wolff, mengalami pencekalan, penuntutan atau diancam akan dijebloskan ke penjara … itupun jika mereka tidak terbunuh, seperti yang dialami oleh Theo van Gogh atau kartunis Charlie Hebdoe; yang dibunuh oleh orang atau kelompok-kelompok yang sebelumnya telah mereka ingatkan sebagai ancaman terhadap kita.

 

Geert Wilders diinterogasi oleh pihak berwajib Belanda, yang menuntutnya oleh karena pidatonya di bulan Maret 2014, dimana ia bertanya,”Apakah kalian ingin lebih banyak atau lebih sedikit orang Marokko?”

Pada apologet Islamofobia punya banyak cara untuk menghalangi kebebasan berbicara. Setiap kali Islam diangkat ke permukaan, maka mereka mengangkat isu kekerasan yang dilakukan terhadap para individu yang menyediakan sarana untuk melakukan aborsi. Tetapi kekerasan yang dilakukan kelompok anti aborsi bukanlah sebuah “terorisme Kristen”, dan tak ada ayat di Perjanjian Baru yang membenarkan pembunuhan terhadap orang yang melakukan aborsi.

Ayat-ayat kekerasan di Perjanjian Lama sendiri, adalah kisah-kisah yang terkait dengan sejarah, dibatasi oleh konteks historisnya, dan tidak boleh diintepretasikan sebagai persyaratan bagi kesalehan. Orang-orang Kristen sendiri tak lagi terlibat dengan Inquisisi yang pernah terjadi beberapa abad yang lalu.

Setiap kali Quran didiskusikan, maka para apologet Islam mengatakan,”Oh, bagaimana dengan ayat-ayat kekerasan di Perjanjian Lama?” Tapi ada perbedaan kualitatif dan kuantitatif antara Alkitab Ibrani (PL) dengan Quran, bahkan jika mereka sendiri tidak mau melihatnya.

Direktur Pusat Studi Politik Islam, Bill Warner, memperbandingkan doktrin Islam dengan agama-agama lainnya secara kuantitatif dan kualitatif. Kitab-kitab suci Islam tidak berisi damai, disamping itu ayat-ayat yang memerintahkan untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan tidak dibatasi hanya berdasarkan konteks sejarahnya.

“Masalah sesungguhnya jauh lebih besar dari ukuran kuantitatif, yaitu 10 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan ayat-ayat kekerasan yang ada di Perjanjian Lama. Juga ada ukuran yang bersifat kualitatif. Kekerasan politis dalam Quran bersifat kekal dan universal. Sebaliknya kekerasan politis dalam Alkitab hanya berlaku pada konteks waktu dan tempat tertentu dalam sejarah. Inilah perbedaan mendasar antara Islam dengan Kristen maupun Yahudi. Kekerasan Islami senantiasa merupakan ancaman konstan bagi seluruh budaya non-Islam, saat ini dan di masa depan. Dalam praktiknya Islam berbeda dengan Yahudi dan Kristen. Kendati sama-sama berpegang pada adanya Satu Tuhan, tetapi Islam unik dalam dirinya sendiri.” [1]

Ia mencatat bahwa,”Tak ada perintah untuk melakukan kekerasan politis di Perjanjian Baru.” Ia juga menambahkan bahwa kekerasan dalam Islam juga menjadi ancaman untuk banyak sekte dalam Islam seperti: Sunni, Syiah, Sufi, Ahmadiyah, atau Alawit.

Pembantaian warga Ahmadiyah oleh massa Muslim di Cikeusik - Propinsi Banten

Setelah Negara Islam (ISIS) mulai memenggali dan memperkosa orang-orang tak berdosa yang ada di Irak dan Suriah, orang sedemikian syok sehingga mereka coba menemukan penjelasan atas aksi-aksi keji ini. Sejumlah orang yang mengalami syok menuduh bahwa aksi keji itu disebabkan oleh lirik lagu dari seorang mantan rapper yang dikemudian hari bergabung dengan ISIS.[2] Ada juga yang menuduh Amerika Serikat[3], dan beberapa orang lainnya menuduh sejarah kolonialisme Inggris sebagai penyebab. [4].

Dan penjelasan popular lainnya adalah bahwa para teroris Muslim secara general, dan para teroris ISIS secara khusus, adalah korban dari penyakit mental. [5] Namun tak semua orang yang menderita penyakit mental tak dapat diterima secara sosial, dan tak semua orang yang menderita penyakit mental, menyalurkan penyakit mental mereka melalui prisma sebuah agama yang memuliakan pembunuhan.

Berdasarkan penjelasan ini, bahkan tak peduli apapun yang dikatakan oleh para teroris mengenai diri mereka, tampaknya teologi Islam-lah yang bertanggungjawab atas kekerasan Islami. Sayangnya, jika ada orang atau organisasi yang memproklamirkan keyakinan Islami mereka atas aksi-aksi mereka, menyerukan slogan-slogan Islam dan membawa bendera-bendera Islam, kekerasan mereka seringkali dianggap tak ada kaitan dengan teologi Islam.

Untuk memastikan apakan sebuah kelompok adalah organisasi teror yang diinspirasikan oleh agama tertentu, yang perlu dilihat adalah apakah ada paralel antara gol-gol yang dinyatakan oleh kelompok itu dengan ajaran dari agama mereka. Obyektif yang diungkapkan oleh Negara Islam (ISIS) adalah untuk mendirikan sebuah kekalifahan Islam dibawah hukum Syariah.[6]

Quran berisi lusinan ayat yang mempromosikan kekerasan … sekurangnya ada 109 ayat yang memerintahkan Muslim untuk melancarkan perang terhadap orang kafir atas nama Islam. Sulit untuk menafsirkan ayat-ayat ini sebagai sebuah pergumulan spiritual.
Sebagai contoh, Quran memerintahkan:

60. Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar,
61. dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.
62. Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (Qs Al Ahzab 33:60-62)

Islam juga memerintahkan pembunuhan terhadap ke-3 kelompok dibawah ini:

 

  • Muslim yang menolak untuk “berperang di jalan Allah” dianggap sebagai orang munafik, dank arena itu mereka harus dibunuh (Qs Ali Imran 3:167)
  • Orang-orang yang punya “penyakit dalam hati mereka” – termasuk orang Yahudi dan Kristen (Qs Al Maidah 5:51-51 ; Qs 33 Al Ahzab 33:61-62)
  • Mereka yang menentang islam juga harus dibunuh (Qs 33 Al Ahzab 33:62)

Yang lebih buruk lagi, orang Muslim yang tidak bergabung dalam peperangan disebut sebagai “kaum munafik” (Quran 3:167) dan kepada mereka diberi peringatan bahwa mereka akan dikirim ke Neraka yang berisi api yang kekal. Jelas ini adalah sebuah aturan yang dimaksudkan untuk menetralisir kesadaran seseorang, mendorong agresi dalam diri seseorang dan untuk mempromosikan pembunuhan. Sebagaimana yang diakui oleh ulama Sunni terkemuka Sheikh Yusuf al-Qaradawi,”Jika Muslim membuang hukuman mati bagi mereka yang murtad, maka Islam tidak lagi eksis hari ini.”

Yang ditawarkan oleh ISIS kepada banyak anak-anak muda yang ia rekrut adalah hasrat terhadap darah. Mereka memulainya dengan video pemenggalan kepala tawanan yang mengenakan pakaian berwarna oranye, dan sekarang alasan untuk pembunuhan semakin meluas hingga membunuh orang-orang yang ingin keluar dari ISIS … bukan Islam. Misalnya pembunuhan yang dilakukan terhadap kaum wanita dan para gadis yang menolak untuk dinikahi para jihadis.

Massa Front Pembela Islam (FPI) melakukan unjuk rasa di bundaran Hotel Indonesia sambil membawa bendera ISIS, sebagai dukungan mereka terhadap organisasi teror internasional tersebut. Pembiaran aparat kemanan?

 

Pada tanggal 18 Desember 2014, Kelompok Hak Asasi Manusia Hindu (HHR) melaporkan bahwa,
“Buku-buku teks di sekolah-sekolah Pakistan menimbulkan kesalahpahaman dan intoleransi terhadap orang-orang Hindu dan minoritas keagamaan lainnya, sementara kebanyakan guru memandang non-Muslim sebagai musuh-musuh Islam, berdasarkan sebuah studi yang dilakukan sebuah komisi pemerintah Amerika yang dirilis pada hari Rabu.”

“Penemuan ini mengindikasikan betapa dalamnya pengaruh kelompok garis keras di Pakistan dan memberikan penjelasan mengapa militansi seringkali didukung, ditoleransi bahkan dianggap sebagai hal yang biasa di negara ini. Buku-buku teks itu memberi sangat sedikit referensi terhadap peran yang dimainkan oleh umat Hindu, Sikh dan Kristen dalam kehidupan budaya, militer dan sipil Pakistan, artinya bahwa ‘seorang pelajar muda dari kelompok minoritas tidak akan menemukan banyak contoh mengenai kaum terdidik dari kelompok minoritas dalam buku-buku mereka sendiri.

Sebagaimana yang dengan mudah dapat dilihat dalam sejarah militansi Islam di Pakistan, jika ekstremis fundamentalis Islam bisa menemukan orang Yahudi, Kristen, Hindu, Atheis atau non-Muslim lainnya, yang oleh Quran dipandang sebagai lebih rendah dibandingkan Muslim, maka kaum ekstremis akan menjadikan mereka sebagai target. [7] Kadang-kadang kaum ekstremis membunuh mereka, dan kadang-kadang mereka dipaksa untuk menjadi mualaf. Jika mereka tak dapat menemukan non-Muslim, maka mereka akan menyerang orang beriman dari sekte Islam yang berbeda dari mereka. Ini terjadi dalam konteks peperangan yang terus berlangsung antara kaum Sunni dengan Syiah, hingga hari ini. Jika orang-orang dari sekte-sekte itu tidak bisa mereka temukan untuk diserang, maka kaum ekstremis akan menjadikan para anggota mereka sendiri menjadi target serangan. Jika supremasi, penaklukan, kekerasan dan pemaksaan untuk memeluk Islam adalah sebuah perintah yang sangat kuat dalam agama Islam, maka jumlah korban dari agama ini secara natural akan semakin bertambah.

Sayangnya, kebanyakan Muslim tidak terlibat dengan Islam fundamentalis, jihad atau kekerasan, tetapi ini tidak berarti bahwa ajaran-ajaran tersebut tidak diperintahkan oleh teologi Islam fundamentalis. Tentu saja, ideologi tak boleh dikaburkan dengan individu-individu. Orang Muslim tak boleh diberi stereotype, diperlakukan secara salah atau didiskriminasikan hanya karena identitas mereka sebagai Muslim. Islam harus dianalisa berdasarkan ajaran-ajarannya, bukan berdasarkan pada pengikutnya yaitu orang-orang Muslim.
_______________________

[1] Jihad ditemukan dalam proporsi yang besar di ke-3 kitab suci Islam (Quran, Sira dan Hadis…atau yang disebut Trilogi Islam). Sira (biografi Muhammad) berisi 67 persen teks yang berbicara mengenai jihad. Jika kita bandingkan dengan Perjanjian Lama, hanya 5,6 persen teks Perjanjian Lama yang berbicara mengenai kekerasan politis. Dalam keseluruhan Trilogi Islam, kita menemukan ada 327.547 kata yang berbicara mengenai kekerasan politis, sementara dalam Perjanjian Lama hanya terdiri dari 34.039 kata. Jadi Trilogi 9,6 kali lebih banyak mengandung kekerasan politis jika dibandingkan dengan Alkitab Perjanjian lama.

[2] Hisham Aidi, sebagai contoh, seorang dosen di the School of International and Public Affairs dan di the Institute of African Affairs di Universitas Columbia, berargumen akan kemungkinan hip hop ekstremis turut membantu ISIS. Seharusnya kepadanya justru ditanyakan, "Apakah sejumlah pengajaran Islam tertentu membantu ISIS atau bagaimana bisa lirik dari hip hop ekstemis Muslim dapat mempromosikan begitu banyak kekerasan?

[3] Sejumlah mahasiswa yang bervariasi yang diwawancarai oleh Campus Reform mengatakan bahwa mereka percaya Amerika-lah, bukan Muslim fanatik yang memenggal kepala orang-orang yang tidak bersalah. Jadi menurut mereka Amerika adalah ancaman terbesar bagi perdamaian dunia.

[4] Sebagai contoh, David L. Phillips, Direktur Program Peace-building and Human Rights di Columbia University's Institute, menulis bahwa “ISIS memiliki kegeraman yang absah terhadap negara-negara Barat yang telah menimbulkan kerusakan di Timur Tengah.

[5] Mengatakan bahwa radikalisasi yang dialami oleh 2 orang pria, Martin Couture Rouleau, yang menabrakkan mobilnya ke dua orang serdadu Kanada, menyebabkan satu orang serdadu tewas, dan Michael Zehaf Bibeau, yang di bulan Oktober menembak mati seorang serdadu yang menjaga the National War Memorial – terjadi karena kedua orang ini menderita masalah paranoia kejiwaan akut, krisis identitas personal dan kemungkinan menderita psikosis. Namun Rouleau menghubungi 911 ketika ia dikejar, untuk mengatakan bahwa ia melakukan aksinya dalam nama ALLAH.

[6] Pada tanggal 29 Juni 2014, ISIS memproklamirkan sebuah kekalifahan baru dan mengangkat al-Baghdadi sebagai kalifahnya. Laith Kubba, direktur Timur Tengah dan Afrika Utara di National Endowment of Democracy, menjelaskan: “Baghdadi mendeklarasikan sebuah kekalifahan, dan setiap orang yang tahu teologi dan latar belakangnya akan menyadari bahwa deklarasi ini didasarkan pada fikh tradisional, mewajibkan siapapun yang berpegang pada agama Islam untuk menyatakan keberpihakan mereka. Ketika kekalifahan diumumkan, ISIS menyatakan: “Legalitas dari seluruh emirat, kelompok-kelompok, negara-negara dan organisasi-organisasi tidak lagi berlaku dengan ekspansi otoritas kekalifahan dan kedatangan para tentara di wilayah-wilayah mereka.”

[7] Orang-orang Muslim lainnya yang menjadi target termasuk kelompok Ahmadiyah.